Zenior “Dia masih menjadi obat”



Dua jarum jam sudah menjadi satu dalam kesunyian malam yang diiringi isak tangis Zenith. Sudah hari ke 3 dia harus menerima uang tabungannya dicuri oleh santri lain. Mengikhlaskan mungkin sudah, tapi membayangkan wajah sang mama yang lagi lagi harus mengeluarkan uang lebih untuk segala keperluannya ketika perpulangan pondoknya membuat Zenit tertekan.

Ternyata setelah perpindahan kamar tahunan itu tak membantu mengurangi bebannya. Setelah tertekan karena penghuni kamar lama dan kehilangan buku olimpiadenya, kini ia harus menerima uang tabungannya hilang begitu saja. 

Stress. Setidaknya itu satu kata yang dapat menggabarkan keadaannya saat ini. Ditambah lagi wali kamarnya tak memperbolehkan Zenith mengadu hanya untuk memberi penjelasan mengapa ia meminta transfer uang lagi, karena jika tidak memberitahu alasannya perasaannya akan sangat mengganjal. Karena satu minggu yang lalu Ayahnya baru saja mengirimkan uang, ia benar benar butuh uang sekarang. Pasalnya sudah 3 hari Zenith tak membeli makanan untuk pembuka buka puasa.

"Gak boleh nangis! harus senyum," batinnya. Zenith mulai merindukan seseorang ketika lagu konyol 'ottoke' yang pernah Nior record untuknya kagi lagi terbesit, wajah datar Nior dengan tubuhnya yang kaku berusaha bergaya cute menarik bibir Zenith.

"Gak boleh, ini sedikit lagi bukan? aku sudah berjanji untuk tidak membuka surat surat itu lagi, aku bisa tersenyum dengan atau tanpa dia," batinnya meyakinkan.

Zenith tidak bisa. Ia benar benar merindukannya sekarang, ia mengambil kotak surat yang sudah lama tak tersentuh. Bibirnya kembali merekah lebar ketika satu persatu surat Nior tertangkap oleh netranya lagi. Bahkan isak tangisnya dengan cepat menjadi tawa kecil di tengah malam, lagi lagi Nior masih menjadi obat untuk Zenith.

Dibawah langit malam, ia menyadari perasaan yang begitu besar yang tidak lagi bisa dibohongi. Ia menyadari betapa tidak inginnya ia kehilangan Nior di ikuti dengan kenyataan bahwa ia mencintai Allah sebagai pemilik Nior. Zenith berusaha menguatkan dan memantapkan hati, berusaha menerima kenyataan dan kabar terakhir bahwa kemungkinan besar ia akan kehilangan Nior yang masih menjadi obatnya.

"Biar saja" batinnya. Memang benar bahwa Zenith tidak meminta lebih, melihat Nior menjadi orang paling bahagia saja sudah cukup. Biar doa yang selalu menemani Nior untuk menuntunnya pada tawa. Pasal nama yang tertulis disampingnya, Zenith tidak bisa ikut campur.

Zenith hanya ingin setia pada jodohnya untuk saat ini. Karena itu Zenith menjadi orang yang melukai orang yang ia cintai. Iya, orang yang masih menjadi obatnya, Nior Putra Alfreda, dengan Alicya El-Zenith yang selalu gagal mengobati luka.

Jika rembulan bisa bicara dan angin bisa menyentuh, saat ini Zenith hanya ingin menyampaikan peluk ini dan bicara bahwa ia sangat mencingai putra ke-2 dari keluarga Alfreda itu.

“Jadi bolehkah aku pergi hingga kewajiban mencintaimu menuntunku kembali?.”

Oleh : Putrianti Adinda Salsabila
Kelas  : XI IPS 2

Komentar

Postingan Populer